Urbanisasi dan Ekspansi Kota: Konflik Lahan dan Lingkungan – Bayangkan sebuah sawah hijau di pinggiran kota yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi banyak keluarga petani. Kini, di atas lahan yang sama, berdiri deretan rumah mewah dan pusat perbelanjaan berkilauan. Fenomena ini bukan cerita fiksi—ini adalah wajah nyata urbanisasi yang sedang melanda berbagai kota besar di dunia, termasuk Indonesia.
Urbanisasi, pada dasarnya, adalah tanda kemajuan. Ia menunjukkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan akses terhadap pendidikan, serta kemudahan dalam memperoleh pekerjaan dan layanan publik. Namun, di balik gemerlap lampu kota, ada cerita lain yang jarang disorot: hilangnya ruang hijau, konflik lahan, dan tekanan besar terhadap lingkungan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 56% penduduk Indonesia kini tinggal di wilayah perkotaan, dan angka ini akan terus meningkat hingga sekitar 70% pada tahun 2045. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan terus berkembang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial. Tapi di saat yang sama, batas antara kota dan desa kian kabur.
Ekspansi kota sering kali dilakukan tanpa perencanaan tata ruang yang matang. Pembangunan perumahan, kawasan industri, dan infrastruktur publik memperluas area terbangun ke arah pinggiran, menggusur lahan pertanian produktif. Di kawasan Jabodetabek, misalnya, ribuan hektar sawah telah berubah menjadi beton dalam dua dekade terakhir. Ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga menghilangkan fungsi ekologis penting yang dulu dimiliki lahan hijau.
Ketika ruang terbuka hijau semakin sedikit, dampaknya terasa di mana-mana. Banjir menjadi lebih sering, suhu kota meningkat, dan kualitas udara menurun. Kota yang dulu menjadi tempat impian, perlahan-lahan berubah menjadi ruang yang padat, bising, dan tidak nyaman untuk ditinggali.
Namun ironisnya, urbanisasi tetap menjadi magnet bagi masyarakat dari desa yang mencari kehidupan lebih baik. Mereka rela meninggalkan kampung halaman, berharap pada janji kehidupan modern di kota besar. Sayangnya, tidak semua menemukan keberuntungan. Sebagian justru berakhir di kawasan kumuh, terpinggirkan oleh tingginya harga tanah dan biaya hidup.
Urbanisasi sejatinya bukan musuh. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mengelolanya. Tanpa keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam, kota hanya akan menjadi mesin raksasa yang perlahan menggerus kehidupan di sekitarnya.
Konflik Lahan dan Degradasi Lingkungan dalam Ekspansi Kota
Ketika kota tumbuh, lahan menjadi rebutan. Pemerintah ingin memperluas kawasan industri, pengembang mencari lokasi strategis untuk proyek properti, sementara warga setempat berjuang mempertahankan tanah warisan keluarga mereka. Dari sinilah berbagai konflik lahan bermula.
Contohnya dapat dilihat di Jakarta Utara dan Bekasi, di mana pembangunan perumahan elit dan proyek infrastruktur sering menggusur permukiman warga. Banyak keluarga harus pindah tanpa mendapatkan kompensasi yang memadai. Bagi mereka, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan sejarah. Ketika lahan itu hilang, mereka kehilangan lebih dari sekadar rumah—mereka kehilangan akar.
Selain konflik sosial, ekspansi kota juga memicu konflik ekologis. Pembangunan yang masif menutup daerah resapan air, memotong jalur sungai alami, dan mengurangi ruang bagi vegetasi. Akibatnya, banjir menjadi langganan di musim hujan. Kota seperti Jakarta, yang dulu dikenal sebagai kota dengan banyak kanal dan rawa, kini sering terendam air karena sistem drainasenya tak lagi mampu menampung limpasan hujan.
Tak hanya air yang jadi korban, udara pun ikut tercemar. Pertumbuhan kendaraan bermotor dan industri menyebabkan emisi karbon meningkat tajam. Berdasarkan data IQAir 2024, Jakarta termasuk dalam 10 kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, dengan tingkat polusi yang jauh melebihi ambang batas aman WHO.
Di sisi lain, ekspansi kota juga menghancurkan keanekaragaman hayati. Hutan mangrove di pesisir utara Jawa terus menyusut, digantikan oleh kawasan industri dan pelabuhan. Habitat burung air, ikan, dan berbagai spesies endemik kini terancam punah. Begitu juga dengan lahan basah yang berfungsi menahan intrusi air laut—kini perlahan hilang di bawah timbunan beton.
Namun, bukan berarti semua kota berjalan ke arah kehancuran. Beberapa negara berhasil menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian alam. Singapura, misalnya, menjadi contoh sukses bagaimana kota modern dapat tumbuh tanpa mengorbankan ruang hijau. Hampir 50% wilayahnya masih berupa vegetasi, dan setiap proyek pembangunan wajib menyertakan elemen hijau seperti taman vertikal atau atap bervegetasi.
Di Indonesia, upaya menuju konsep “kota berkelanjutan” mulai terlihat. Beberapa kota seperti Bandung dan Semarang mulai menerapkan kebijakan ramah lingkungan, seperti pengembangan taman kota, sistem transportasi massal rendah emisi, serta pengelolaan sampah terpadu. Meski masih dalam tahap awal, langkah-langkah ini menunjukkan bahwa perubahan ke arah positif bukan hal mustahil.
Kuncinya terletak pada keberanian mengambil keputusan berani dan berpihak pada keseimbangan: antara manusia dan alam, antara ekonomi dan ekologi.
Kesimpulan
Urbanisasi adalah keniscayaan zaman. Ia membawa kemajuan, kesempatan, dan transformasi sosial yang luar biasa. Namun, di balik kemegahan gedung pencakar langit dan jalan-jalan tol yang berkilau, terdapat tantangan besar yang tak boleh diabaikan: konflik lahan dan krisis lingkungan.
Pembangunan kota yang tidak terencana dengan baik telah menggerus lahan pertanian, mempersempit ruang hijau, dan memicu ketimpangan sosial. Warga kecil tersisih, alam terpinggirkan. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan pembangunan berjalan tanpa arah, seolah-olah ruang dan sumber daya alam tidak terbatas.
Pemerintah, pengembang, dan masyarakat harus bekerja sama dalam membangun kota yang berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan. Kebijakan tata ruang perlu diperkuat agar setiap pembangunan memperhitungkan dampak sosial dan ekologisnya. Masyarakat juga harus diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan, bukan sekadar menjadi korban keputusan sepihak.
Sementara itu, kesadaran individu pun penting. Mulai dari hal kecil seperti menanam pohon di halaman rumah, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, hingga mendukung produk dan proyek ramah lingkungan. Setiap langkah kecil menuju keberlanjutan akan menjadi bagian dari solusi besar untuk masa depan kota kita.
Pada akhirnya, ukuran keberhasilan sebuah kota bukan hanya dari seberapa cepat ia tumbuh, tetapi seberapa bijak ia menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Kota yang ideal bukanlah kota tanpa hutan, sungai, atau sawah—melainkan kota yang tahu cara hidup berdampingan dengan mereka.
Jika urbanisasi dikelola dengan hati, maka ekspansi kota bukanlah ancaman, melainkan peluang emas untuk menciptakan ruang hidup yang lebih manusiawi, hijau, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.